Kamis, Maret 04, 2010

Kebohongan Di "The Da Vinci Code"


Banyak Kebohongan "The Da Vinci Code"
The Da Vinci Code" (DVC) merupakan sebuah buku fiksi murni, dan bukan fiksi historikal. Penulis buku itu, Dan Brown, sesungguhnya tidak membaca Alkitab, sementara ia selalu memulai bukunya dengan mengatakan, "Fakta...semua deskripsi dalam dokumen, dokumen adalah akurat." Buku tersebut ditulis berdasarkan dugaan dan dilakukan dengan menerka-nerka. Halaman fakta yang terdapat pada buku DVC menciptakan impresi yang salah, karena buku tersebut terdengar seperti dibuat berdasarkan penelitian sejarah.
Hal ini ditegaskan oleh Prof Ben Witherington III, PhD, dari Amerika Serikat, pakar studi Biblika yang terlibat langsung dengan naskah-naskah kuno dan temuan-temuan arkeologis dalam lingkup Perjanjian Baru, di Jakarta, baru-baru ini. Dia sekaligus memperlihatkan buku berjudul "The Gospel Code", buku yang ditulisnya sebagai respons dari kesalahan-kesalahan yang tertulis dalam buku DVC. Ben yang menerima gelar sebagai Profesor Interpretasi Perjanjian Baru di Asbury Theological Seminary, Wilmore, Kentucky, Amerika Serikat, khusus datang untuk menyampaikan kebenaran dan menjawab kebutuhan komunitas Kristen di Indonesia akan kebenaran Injil.
Ben berbicara, masing-masing dalam seminar akademis bertema "The Origins and Nature of Earliest Christianity and Its Scriptures" dan seminar publik bertema "Secret Gospels and Jesus Inner Circle, Membongkar Injil yang Bukan PB dan Yesus yang Bukan Kristus". Kedua seminar ini mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, baik itu dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi dari berbagai denominasi, para pelayan gereja dan pendeta, organisasi, persekutuan dan yayasan Kristen, maupun anggota jemaat gereja.
Menurut Ben, bukan hal yang mengejutkan lagi bahwa thriller yang terkonstruksi dengan baik, dan ditulis pada zaman penyebaran kitab di tengah buta huruf dan ketidak-pedulian terhadap kekristenan, dapat menjadi sebuah pengaruh. Dan Brown, katanya lagi, memiliki beberapa formula dalam usaha menggoyahkan iman para pembacanya, yaitu, menciptakan teori konspirasi, melibatkan Gereja Katolik, dan berfokus pada rahasia-rahasia yang baru terungkap.
Tanda Zaman
Seperti tertulis dalam kitab Wahyu, mendekati kedatangan Yesus untuk kedua kalinya ke dunia, manusia akan mengalami banyak tanda-tanda. Tanda akhir zaman pun termasuk apa yang akhir-akhir ini sering terjadi, yaitu munculnya berbagai macam penemuan baru tentang Kristus. Penemuan-penemuan tersebut, tak pelak menimbulkan berbagai keraguan di dalam tubuh umat Kristiani sendiri.
Penemuan-penemuan seperti Injil Thomas, Injil Yudas, dan beberapa penafsiran yang salah yang dimasukkan dalam buku terlaris karya Dan Brown, DVC, adalah contoh penemuan yang mengundang perdebatan sengit atas kebenarannya. Merespons kenyataan tersebut, Persekutuan Kristen antaruniversitas (Perkantas), berinisiatif mengundang pakar kitab Perjanjian Baru Prof Ben Witherington III, PhD yang diharapkan dapat memberikan fakta dan kajian ilmiah mereka atas berbagai naskah atau penemuan yang mengundang kontroversi tersebut. Ben dikenal sebagai penulis buku What Have They Done with Jesus, The Gospel Code dan 30 judul buku lainnya. Ia juga mantan pengajar Perjanjian Baru di Ashland Theological Seminary, Vanderbilt University, Duke Devinity School, dan Gordon-Conwel Theological Seminary.
Menurut panitia pengarah, Pdt Mangapul Sagala, seminar yang diberi nama Sola Scriptura itu merupakan Studi Biblika yang diadakan setiap setahun sekali. Rangkaian kegiatan seminar tersebut bersifat interdenominasi atau terbuka baik bagi seluruh komunitas Kristen maupun non-Kristen. Menurutnya, Sola Scriptura akan mengisi kebutuhan komunitas Kristen untuk mengkaji keabsahan informasi baru sekitar Alkitab, dan diharapkan dapat membuat masyarakat Kristen memahami prinsip memilah informasi yang ditawarkan melalui berbagai sumber, khususnya media massa. Karena media adalah sebuah sarana informasi yang sangat berpengaruh.
Penyelenggara seminar yang dipanitiai oleh Perkantas ini mendapatkan dukungan dari 3 persekutuan besar, yaitu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI), dan Persekutuan Sekolah-Sekolah Teologia Indonesia (Persetia).
Injil Gnostik
Selanjutnya, menurut Ben, tokoh heroik yang diciptakan oleh Brown, yaitu Robert Langdon, menekankan bahwa setiap kepercayaan di dunia ini berdasarkan sesuatu yang dibuat-buat, atau pemalsuan. Kemudian ia juga medefinisikan iman sebagai sesuatu yang diimajinasikan benar dan tidak dapat dibuktikan. Dan Brown juga berpendapat bahwa setiap agama mendeskripsikan Tuhannya melalui perumpamaan dan kiasan yang cenderung melebih-lebihkan. "Pernyataan-pernyataan tersebut mengarah kepada interpretasi atau fakta yang salah," tegas Ben.
Ben mengindikasikan, sepertinya Brown tidak sadar bahwa "fakta" yang ia tulis di bukunya mengarah kepada Injil Gnostik. Ben mengatakan, sifat protagonis Brown disebut Injil Gnostik, atau yang berarti "pengetahuan". Atau dengan kata lain, Injil Gnostik adalah Injil yang tidak diperbaharui dan tidak berubah.
Namun, Injil Gnostik semakin sulit dipahami dan tidak bisa dimungkiri bahwa semakin sedikit orang Yahudi mempercayai Injil, semakin sedikit pula yang merefleksikan tahap awal dari tradisi sebuah Injil. Brown mengacaukan perspektif teologis yang ditemukan dalam Gnosticism dengan paganism atau kepercayaan dan amal para ateis.
Menurut Ben, Gnostik juga memisahkan dan membedakan antara Tuhan yang membuat isi semesta ini dengan Tuhan sebagai Roh. Ditekankan, keselamatan adalah tentang apa yang Anda ketahui, bukan siapa yang Anda tahu. Dia juga memaparkan tujuh kesalahan fatal yang terdapat dalam buku DVC, di antaranya, mengenai pernyataan bahwa empat Injil yang di- akui oleh gereja diambil dari 80 Injil, di mana sisanya disembunyikan. "Tidak ada 80 Injil, bahkan kalaupun dihitung dengan Injil palsu. Tidak satu pun dari Injil yang diakui gereja termasuk di dalamnya," tegasnya.
Pada buku DVC halaman 243-Bab 49, dikatakan bahwa Yesus telah menikah dengan Maria Magdalena. Faktanya, dalam Perjanjian Baru sama sekali tidak pernah tertulis tentang hubungan spesial antara Yesus dan Maria Magdalena.
Dari seminar tersebut, Ben mengharapkan dapat menjadikan umat Kristen di Indonesia dewasa, dapat memilah segala informasi, dan tidak mudah terpengaruh apalagi terguncang. [WWH/R-8]Pakar Biblika, Prof Ben Witherington III, PhD , kutipan Suara Pembaruan Daily.

Sumber : Nemoto

5 Negara Pembajak Software Terbesar Di Dunia

Dari 108 negara yang disurvei International Data Corp (IDC), tercatat ada 67 negara yang tingkat pembajakannya turun dengan kisaran 1-7 persen. Penurunan paling tajam diraih Rusia, sementara 11 negara lainnya tingkat pembajakannya naik. Sisanya tercatat tidak mengalami perubahan (prosentasenya tetap).Rata-rata tingkat pembajakan secara global meningkat menjadi 38% pada 2007, sementara pada 2006 hanya 35%. Demikian halnya dengan nilai kerugian yang secara global meningkat dari US$ 40 miliar pada 2006 menjadi US$ 48 miliar pada 2007.Armenia didaulat sebagai negara dengan tingkat pembajakan terbesar dengan prosentase 93%, menyusul Armenia, Bangladesh dan Azerbaijan dengan prosentase 92%.

Di lain sisi, negara adidaya Amerika Serikat (AS) tercatat sebagai negara yang tingkat pembajakannya paling rendah dengan prosentase 20%.Berikut daftar lengkap 5 negara pembajak terbesar:1. Armenia (93%)2. Bangladesh (92%)3. Azerbaizan (92%)4. Moldova (92%)5. Zimbabwe (91%)Daftar lengkap 5 negara pembajak terendah:1. Amerika Serikat (20%)2. Luxemburg (21%)3. New Zeland (22%)4. Jepang (23%)5. Austria (25%)Indonesia menduduki peringkat ke 12 dari 108 negara dalam hasil studi internasional data perusahaan tentang pembajakan software atau piranti lunak di dunia."Posisi 12 ini menunjukan bahwa pembajakan software di Indonesia telah mengalami penurunan sebanyak satu persen," kata Donni A.Sheyoputra perwakilan bussiness software alliance di Indonesia saat konferensi pers seusai pembukaan seminar tentang pembajakan software di kantor U.S Foreign Commercial Service di Gedung Metropolitan II Jakarta.Sebelumnya Indonesia menduduki posisi delapan, yang artinya Indonesia adalah 10 besar negara pembajak software di dunia. Turunnya tingkat pembajakan software di Indonesia pada tahun 2007 lalu paling tidak telah meningkatkan kepercayaan investor asing untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia."Sebelumnya jumlah kerugian akibat pembajakan di Indonesia mencapai US$ 411 juta. Sebab pada tahun 2007 84 persen software di Indonesia bajakan," kata Donni.Sementara itu wakil Duta Besar Amerika John A. Heffrern dalam pidatonya menyatakan di tingkat global kerugian akibat pembajakan mencapai US$ 500 miliar. "Dalam bidang software, kerugian akibat pembajakan mencapai ratusan juta dollar," kata John.Dia juga menegaskan pembajakan hak kekayaan interlektual dalam bidang apapun membawa dampak serius bagi iklim investasi, perekonomian dan industri.

sumber